'Kunci Tahun' kata yang bertuah secara psikologis. Bagi peradaban modern, kata ini telah memenuhi hajat kebudayaan global.
Tak seorangpun kini tak akan dimeriahkan suasana kehidupan ini tanpa ikut ritual dan prosesi kunci tahun.
Bagi sebagian orang, apalagi di tengah pandemi Covid-19, kunci tahun menjadi semacam jeda atau interval untuk mengevaluasi kesadaran kita akan waktu dan bioritmenya.
Apakah tiap orang akan sama dalam menghayati sihir waktu kunci tahun di tengah ganasnya penularan corona?
Situasi psikologis kunci tahun tampaknya telah menawan ritual bioritme kita seolah sebagai suatu kebiasaan(habit) yang sudah pakem. Kebiasaan dan psikologis kunci tahun itu sangat mempengaruhi nilai-nilai ritual magis yang lekat dalam kebiasaan kita. Karena itu, dengan memanfaatkan 'bahasa' sebagai instrumen pengantar sihir waktu kunci tahun setiap kita seharusnya menjadi seperti seorang pendongeng untuk mengutarakan bagaimana mendinamisasi atau mengaktualisasi suasana memasuki sihir waktu kunci tahun.
Hampir semua persepsi kita atas kunci tahun sebaiknya dijauhkan dari pikiran rutinitas dan ritualisasi yang mendampinginya.
Kunci tahun itu harus dinikmati
Bukan semata sebagai rutinitas dan ritualisasi yang tak menawan.
Tapi, bagaimana bioritme atas waktu jeda yang diasumsikan secara teologis dengan traktat "Deus Emiritus" (Tuhan Mahajeda), tak harus diimani dengan bidah.
Antara memuja, kontemplasi, meditasi dan mengaktivasi, ada kata kunci yang harus disertakan sebagai pemungkas sihir waktu.
Bukankah tahun itu suatu bahasa yang lebih bernilai nomina(kebendaan). Apakah 'kebendaan' itu mesti diakhiri di akhir 'waktu'(?). Deus Emiritus.
~Rahayaan Rambo
~Ambon, 31 Desember 2020