Penulis: Salmon Ulate
Ambon, 2 Mei 2024
Di tanah yang padam cahaya
Bibiku mengelus bibir
yang diiris oleh bambu atap dapur
Senyumnya kian pudar, pancar tawa penuh
sukar
Seraya meringik akan dimana keadilan
Bibi berbisik pada Sang Kuasa
Namun bisikkan itu malah salah tempat
”ah
nenemoyang e sasaran seng tepat ale”
Di penghujung malam
Mama-mama terus memamah pinang
Sembari bercanda dengan kegelapan
Mereka terjebak pada pahitnya waktu
Sehingga
meludahi sebongkah tanah;
yang tidak ada salahnya
Kadangkala rambut panjang mereka
Dijajah oleh kutu kepala yang mungil
Bagaimana mengusirnya selain meraba-raba
Kutu kepala terus menghardik tanpa aba-aba
Enak sekali jadi penjajah
Anak-anak tersesat dalam hiruk-pikuk
kegelapan
Berbisik pada Tuhan lagi
"Allahku, jang kastinggal beta o
Beta lahir pake sarong, pastiu lia
setang manggarong"
Adakah terang membersamai kompas sewaktu
gelap
Kompas pun tak kompak
Apabila mendapat jalur yang terang; tenang
pula
Bagaimana dengan kita yang hanya bermodal
setengah ilmu
Apakah terlantar?
Apakah terkapar?
Apakah biarkan lapar?
apakah terbengkalai?
sudahi jua, kita tidak lihai
menggunakan barang ini
Semoga Tuhan menghadirkan seseorang tidak
salah orang
Jika salah orang, setidaknya sedikit
berhati tulus selayaknya orang.
Begitupun aku,
Anak yang kehabisan minyak tanah di dapur
Lalu merenung melihat pelita yang tiada
guna
Sepertinya berguna tuk mencoret
dinding-dinding di dapur
Untuk mengutarakan isi hati “Dimanakah
keadilan”
Biarkan saja semut-semut merah membacanya
Terkadang semut juga tidak adil
Sudah kenyang namun malah merugikan orang
Tidak pantas jika semut berbaring di
istana yang besar
Badan kecil
Mata kecil
Kepala kecil
Otak kecil
Hati ada, namun tidak punya hati
Senang diatas jerih payah
Orang-orang yang dianggap Kecil
Lia ini o
Anak-anak kami kan bangkit menghanguskan
biji matamu
Jika kehadiranmu hanya untuk membutakan pikiran kami