Penulis: Dayan O. Farneyanan
Jakarta, 05 September 2025
Dalam dinamika organisasi modern, khususnya di tengah keterlibatan generasi Z, pola kepemimpinan menjadi variabel penting yang menentukan arah gerakan. Selama ini, banyak organisasi masih mempertahankan pola kepemimpinan yang hierarkis, dengan pengambilan keputusan terpusat pada elite tertentu dan komunikasi yang cenderung satu arah. Model ini seringkali menekankan senioritas dan kurang memberi ruang bagi partisipasi anggota secara luas.
Generasi Z merupakan generasi yang lahir dan tumbuh di era digital sehingga memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari generasi sebelumnya. Mereka cenderung sangat bergantung pada teknologi, dengan kelebihan dalam mengakses informasi dan membangun jejaring, namun juga rentan terhadap dampak negatif seperti distraksi dan ketergantungan digital.
Gen Z memiliki preferensi pada keterbukaan dan kesetaraan, sehingga menolak pola kepemimpinan hierarkis dan lebih menyukai sistem yang transparan serta partisipatif. Selain itu, gaya komunikasi mereka bersifat instan dan interaktif, terbiasa dengan pesan singkat, visual, dan respons cepat, meskipun hal ini kadang mengurangi kedalaman analisis dalam interaksi.
Memasuki era digital, pola gerakan tersebut mengalami transformasi menjadi modern dengan karakteristik yang lebih terbuka, fleksibel, dan partisipatif. Gerakan modern banyak memanfaatkan teknologi informasi, terutama media sosial, sebagai ruang mobilisasi dan advokasi. Aksi kolektif tidak lagi terbatas pada ruang fisik, tetapi juga berlangsung di ruang virtual melalui kampanye digital, petisi online, hingga viral hashtag movement.
Struktur kepemimpinan juga semakin horizontal dan egaliter, memberikan kesempatan bagi semua anggota, terutama generasi muda seperti Gen Z, untuk berpartisipasi aktif tanpa harus melalui jalur hierarki yang panjang.
Mengutip pernyataan Ketum "Prima Subakti" Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, dari akun PP GMKI Yaitu "Gerakan Gen Z hari ini, tidak bisa dipertahankan pola gerakan hierarki. Kita harus berubah dan seimbang".
Pernyataan ini kemudian mempertegas model kepemimpinan baru dalam Organisasi GMKI dengan identitasnya sebagai Organisasi Kaderisasi dan Pelayanan. Hal ini sejalan dengan teori kepemimpinan situasional yang dikemukakan oleh Hersey & Blanchard (1982), yang menekankan pentingnya fleksibilitas pemimpin dalam menyesuaikan gaya kepemimpinan dengan tingkat kematangan pengikutnya.
Sehingga dalam era sekarang Ini, Organisasi GMKI harus bisa menempatkan diri secara seimbang, serta tidak meninggalkan nilai dan tradisi yang telah menjadi fondasi utama dan juga dalam perjuangan GMKI, Kita tidak boleh menutup diri dari inovasi dan tawaran generasi muda, sehingga GMKI bisa melahirkan kepemimpinan bersifat fleksibel, partisipatif, serta memanfaatkan teknologi digitalisasi sebagai ruang Konsolidasi Gerakan.
Dengan demikian, model kepemimpinan dan keseimbangan ini, GMKI dapat terus menjadi wadah pembentuk kader yang relevan, berdaya saing, dan mampu menghadirkan perubahan nyata di tengah masyarakat, tanpa kehilangan jati diri yang telah diwariskan oleh dan sejarah.
