Anatomi Kekerasan di UKIM: Ketika 'Orang Basudara' Tersandera Absennya Figur Lapangan WR III

Giovanni Walewawan

Penulis: Giovani Walewawan 

UKIM, 08 November 2025

(Ketua Bidang Pengkajian dan Penalaran Senat Mahasiswa Universitas Kristen Indonesia Maluku [SMU UKIM] Periodisasi 2023-2024

Insiden tawuran brutal yang melibatkan mahasiswa di UKIM, yang puncaknya ditandai dengan perusakan aset kampus, bukanlah sekadar riak kenakalan yang muncul dari kebetulan, melainkan alarm institusional yang berdering nyaring dari kedalaman krisis tata kelola. Ketika sebuah institusi pendidikan yang mengukuhkan diri sebagai “Kampus Orang Basudara” justru menjadi panggung bagi aksi anarkis dan kekerasan destruktif, kita sedang menyaksikan ironi tragis. Kejadian ini tidak berdiri sendiri; ia adalah penampakan akut dari disfungsi sistemik dalam pembinaan karakter, yang akarnya terentang dari erosi otonomi mahasiswa hingga ketiadaan kehadiran otoritas pimpinan kampus di palung psikologis mahasiswa.

Sebagai orang yang pernah berada di ring satu organisasi mahasiswa, Saya berpendapat bahwa akar tawuran ini jauh lebih dalam daripada sekadar perselisihan personal. Ia bersumber pada keretakan kelembagaan, krisis otonomi pada seluruh struktur Senat Mahasiswa, dan kegagalan komunikasi yang melumpuhkan interaksi vertikal dan horizontal.

Secara teoritis, Bidang Kemahasiswaan, yang dipimpin oleh Wakil Rektor/Dekan III dan jajarannya, adalah regulator etis, fasilitator strategis, dan penanggung jawab utama pembinaan karakter mahasiswa. Namun, dalam konteks UKIM, peran krusial ini terasa absurd dan absen. Kita menyaksikan disfungsi yang melahirkan kekosongan otoritas.

Kritik utama saya tertuju pada Bidang Kemahasiswaan yang secara institusional gagal menjangkau elemen mahasiswa secara mendasar, melampaui formalitas administratif semata. Fungsi ideal mereka sebagai jembatan, mediator konflik grassroot, dan pengawas program organisasi telah berubah menjadi birokrasi yang dingin dan jauh. 

Ketika otoritas kampus sebagai figur sentral dalam pembinaan memilih untuk tidak hadir di tengah-tengah mahasiswa atau hanya muncul dalam balutan seremonial yang hampa, ruang kosong itu secara naluriah akan diisi oleh kekuatan informal, sentimen primordial fakultas, atau loyalitas kedaerahan yang rentan terhadap gesekan dan konflik. Kegagalan komunikasi vertikal ini diperparah di tingkat fakultas, membuat konflik-konflik kecil tidak tersalurkan di buffer yang tepat dan terakumulasi hingga meledak menjadi aksi brutal yang merobek moral dan merusak aset kampus.

Krisis ini ber-konvergensi pada seluruh struktur Organisasi Senat Mahasiswa, baik Senat Mahasiswa Universitas (SMU) maupun Senat Mahasiswa Fakultas (SMF). Seluruh struktur ini terancam hanya menjadi “lukisan cantik” indah dalam logo dan gagah dalam seragam, namun steril, mandul, dan tanpa daya tawar substansial dalam kehidupan pembentukan karakter mahasiswa.

Fenomena ini adalah manifestasi langsung dari krisis otonomi organisasi. Intervensi yang berlebihan (over-regulasi) oleh dekanat dan pimpinan kampus telah mengubah Senat Mahasiswa dari wadah kepemimpinan, penalaran, dan advokasi, menjadi sekadar perpanjangan tangan birokrasi. Kebebasan berpikir, berinisiatif, dan bertindak yang kritis-konstruktif telah dibonsai di setiap tingkatannya. 

Program kerja yang bersifat kritis, inovatif, dan langsung menyentuh denyut masalah mahasiswa kini tereduksi menjadi ritual administratif, karena harus melalui labirin birokrasi dan izin yang ketat. Akibatnya, ketika aktivis Senat merasa hanya menjalankan perintah atau menjadi Event Organizer (EO) seremonial pimpinan, gairah dan energi intelektual untuk pembinaan menghilang. Energi terpendam mahasiswa yang haus aktualisasi diri justru mencari kanal di luar struktur resmi, yang seringkali berakhir pada benturan kelompok eksklusif dan aksi-aksi destruktif.

Tawuran di UKIM adalah momentum untuk refleksi mendalam, yang harus melampaui sekadar penjatuhan sanksi. 

Solusi teoritis nya adalah revitalisasi radikal tata kelola kemahasiswaan, dan momen terdekat untuk mewujudkannya adalah melalui Pemilihan Rektor UKIM yang akan datang.


Harapan Saya pada kepemimpinan Rektor yang baru adalah hadirnya seorang figur yang mampu melihat Bidang Kemahasiswaan bukan sebagai beban administratif atau pos pengeluaran, melainkan sebagai investasi strategis dalam pencetakan leader masa depan. Kita memerlukan Rektor yang berani mengembalikan otonomi penuh pada seluruh Organisasi Senat Mahasiswa (SMU dan SMF), yang memahami bahwa kritik mahasiswa adalah oksigen demokrasi kampus, bukan ancaman yang harus dibungkam. Rektor baru harus menjadi arsitek rekonsiliasi kelembagaan, yang mampu menyembuhkan luka disintegrasi dan mengintegrasikan kembali elemen mahasiswa ke dalam visi besar intelektualitas dan persaudaraan.

Di samping itu, kunci restorasi ini terletak pada pemilihan Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan yang tepat. Figur WR III yang ideal haruslah seorang figur lapangan (field figure), seorang strategis-intelektual yang tidak hanya duduk di balik meja, tetapi hadir sebagai mediator konflik, mentor organisasi, dan memiliki kepekaan psikologi kepemudaan yang mendalam. Ia harus menjadi buffer yang efektif yang menyerap ketegangan dan sekaligus menjadi katalis yang mendorong forum-forum penalaran dan advokasi. Kita tidak lagi membutuhkan pemimpin seremonial, tetapi seorang pembina sejati yang mampu menanamkan kembali toleransi, kepekaan, dan semangat "orang basudara" yang sesungguhnya—bukan hanya sebagai tagline kosong, melainkan sebagai etos hidup.

Restorasi ini menuntut Bidang Kemahasiswaan untuk menarik diri dari peran over-regulator menjadi pembina, mediator, dan fasilitator strategis. Seluruh Organisasi Senat Mahasiswa harus bangkit dari status "lukisan cantik" menjadi penggerak nyata. Pemberdayaan harus difokuskan pada pengaktifan kembali fungsi pengkajian dan penalaran untuk membahas isu-isu kampus secara kritis-konstruktif.

UKIM sebagai lembaga pendidikan Kristen seharusnya menjadi mercusuar nilai, bukan sarang kekerasan. Kekerasan yang mencoreng nama baik kampus ini adalah cermin kegagalan kita bersama dalam pembinaan. Sudah saatnya Pimpinan, Bidang Kemahasiswaan, dan seluruh Organisasi Senat Mahasiswa duduk bersama, mengakui disfungsi ini, dan secara radikal membenahi organisasi mahasiswa.

Mengembalikan otonomi, memperkuat komunikasi yang otentik, dan merevitalisasi peran SMU dan SMF adalah langkah awal untuk memastikan "Kampus Orang Basudara" menjadi kenyataan yang kokoh, bukan sekadar ironi yang terkoyak oleh aksi brutal mahasiswa sendiri.

Post a Comment

Kalau Ingin karya anda di muat pada halaman "Kawan Berpikir" segera kirimkan tulisan anda pada email kami di kawanberipikir@gmail.com, "nama penulis akan selalu kami sertakan", karena karya anda sangat bermanfaat pada kemajuan literasi kedepanya, terima kasih atas partisipasinya. salam literasi.

Previous Post Next Post
https://www.youtube.com/watch?v=3vuGHbp6MtM&ab_channel=Kawanberpikir

Contact Form