Hampir senja; aku seorang diri terburu-buru menuju liang, dengan angkutan umum yang katanya salah satu ruang stategis untuk penyebaran covid19.
Dalam perjalanan aku berpikir bahwa; apabila sebentar aku di berhentikan di batas wilaya maluku tengga, maka sudah pastinya; pertanyaan-pertanyaan yang semalam sudah ku rapaikan dengan pakaian dan perlengkapan PBL1, Akan jatuh tempat di Dada petugas satgas yang menahanku; dengan alasan tak punya kartu vaksin.
Kenyataanpun menghampiriku dengan sebuah puji syukur aku panjatkan untuk Tuhan yang tak bosan-bosannya mendengarkan suara gelisah akan perjalanan yang sebegitu kuatirnya.
Tiba di liang;
Ku pandangi jalan menuju ruang tunggu, hati ku bertanya; kenapa begitu sunyi, sembari otak yang tak berhenti berpikir, berkata; ini ulah pandemic yang begitu cemburu; hati tak sampai di situ; tahun kemarin; Pembatasan Sosial Berskalah Besar (PSBB) yang begitu berjilid-jilid, namun kaki dan mata ini masih bisa berpijak dan menatap tanah seram yang begitu candu. Itu PSBB! Sambung otak dengan keras, sambil di lanjutkan; PSBB tak se kejam Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Perdebatan panjang antara; otak dan hatipun di berhentikan ketika aku tiba dan duduk di dada satu bangku, tepatnya di samping ruang tunggu; Veri liang-waipirit.
Aku bisu ketika melihat sunyi berkeliaran di atas bangku-bangku kosong, tak seperti hari-hari kemarin yang identik dengan ruang tunggu ialah; suara kendaraan yang tak berhenti berjalan, suara mama-mama pedagang yang tak lelah;mengatur nada suara untuk kebutuhan, tak lupa juga ruang tunggu adalah; tempat Satu-satunya saling melepar senyum dan percakapan.
Detik mengetik, menit pun menghitung langkah demi langkah aku ayunkan untuk membeli tiket dan segera bergegas menuju veri yang bertulisan di depannya; TERUBUK.
Hati resa sambil berkata; lagi-lagi veri ini, bukankah kendaraan ini menghabiskan dua
Jam di atas laut seram.
Laut seram begitu biru namun tak kalah rindu parah penumpang akan hangatnya pelukan nusa ina.
Setelah sampai di atas, aku duduk di pojok kiri, di depanku ada seorang caca berkerudung entah warnanya apa, aku lebih fokus pada matanya yang liar dan candu; mata saling melempar isyarat namun tak sempat bersalaman, sebab pandangan di alihkan oleh suara mama-mama pedangan yang menawarkan sebotol aqua dingin dengan kerepek.
Aku membeli sebotol aqua dingin, satu botol berapa mah? Tanyaku sambil merayu percakapan, lima ribu nyong! Sambung Mama dengan cepat.
Mama tahu covid?
Tanyaku dengan harapan mendapatkan sebuah balasan berbentuk jawaban.
Tahu nyong, covid itu virus yang akang pu danpak sampe katong mama-mama yang bajual ini seng dapa hasil macam sebelum covid nyong, balas mama dengan bahasa sehari-hari.
Oh, mama sudah vaksin?
Sekali lagi aku melepar Pertanyaan; belum nyong! Kenapa belum mama, kerena menurut mama katong pu orang-orang basar di kesehatan ini harus kumpul orang-orang yang sudah vaksin lalu lakukan pengamatan par dong kenapa sampe ketika dong selesai dapa vaksin dong Saki, munta-munta dan sebagainya. Sambung Mama membuatku terkejut, ada ya mama-nama yang analisis situasinya secemerlang ini.
Terima kasih mama sudah bole sama-sama tengelam dalam perbincangan hagat dan dalam ini.
Btw sampai sini dulu..
Laut seram, 31 juli 2021
Sajak Bisu
Mama-mama seperti perlu memberi vaksin akal sehat bagi mereke-mereka yang lupa akal sehat
ReplyDeleteMungkinkah seperti itu?
Delete