Memasuki akhir Tahun 2020 negara indonesia tengah memasuki suatu kondisi yang dimana entitas bangsa merasakan sikap hidup yang kian berbeda dengan sebelumnya. Mencermati kondisi bangsa di akhir Tahun 2020 tentu, memilki banyak cerita dari peristiwa belakang ini dengan perbedaan sikap politis masyarakat yang kemudian menerobos ke dalam kehidup warga Negara yang tak mampu membendung serangan entitas lainya. Adapun satu konsekuensi berat jika negara tidak mampu membentengi masyarakatnya agar tetap kokoh dan tegak untuk menghadapi situasi bangsa yang tak kondusif. Sesungguhya kondisi Indonesia di akhir tahun 2020 bukan soal baru yang datang menghantui negara ini dengan kepentingan politik kelompok yang tak berjalan se-arah dengan cita-cita bangsa. Masalah tersebut sudah ada sejak Negara ini memasuki 1965 sebagai satu perisitwa kelam yang tak bisa terlepas pisahkan dalam lembaran sejarah bangsa indoensia. Kemudian peristiwa 1998 yang lebih dikenal dengan era reformasi sebagai pemberontakan entitas masyarakat atas praksis ke-otoriterian dari rezim Soeharto. dua peristiwa tersebut sebagai catatan sejarah Indonesia tengah mencapi 75 tahun lamanya Negara ini merdeka dari bangsa kolonialsime.
Selanjutnya pada era ini 2000-an hingga November 2020 memasuki akhir tahun nyatanya Negara ini mengalami pergolakan politik yang mulai mencolok di kalangan publik ketika pertantangan politik Negara dengan elemen masyakat yang berorinetasi pada kepentingan sektoral masyarakat perbedaan sikap politik justru meperburuk kehidupan Negara dan masyarakatnya. Persitiwa hangat yang menjadi mimpi buruk bangsa ini ketika pemerintah sikapi kepulangan HRS dan gerakan FPI-nya, deklarasi Benny Wenda di Inggris sebagai Presiden papua. Bertolak dari persoalan dimaksud sesunghnya Negara seharunya lebih arif dalam menggapi segilintir orang yang sengaja menggangu keutuhan bangsa sayangnya sejauh ini Negara lebih banyak menyoroti soal gerakan kolektif seperti FPI dan kelompok-kelompok lainnya yang menurut Negara akan menjadi ancaman. Di sisi lain, Negara kurang memerhatikan pembentukan opini publik oleh para intelktual bangsa yang sengaja memposisikan diri sebagai pembangkang untuk Rezim ini.
Sejauh hemat saya, kita lebih banyak dipegaruhui dengan pemberitaan pada media terkait isu nasional. Ada satu soal yang kurang disadari oleh parah khalayak ketika para intelektual publik sementara mengemukakan pendapatnya tentang masalah FPI dan Negara. Sejatinya ada kesan buruk yang kerap kali terjadi jika, kemampuan literasi media tak dapat di miliki oleh oleh khalayak sayangnya, realitas ini masih jauh dari harapan baik itu, sengaja dalam tulisan ini belum disinggung lebih jauh soal siap yang menjadi propagandis ketika diberikan ruang publik untuk bercakap-cakap tentang isu nasional namun, secara obesrvasi bahwa banyak khalayak tengah dipengaruhi dengan gagasan-gagasan para actor intelektul tersebut. Ironisnya Negara tak mampu menyoroti praksis-praksis yang sementara berjalan selama ini dan tengah menyita perhatian publik dan tergesah-gesah untuk menkonsumsi isu baru secara mentah-mentah tanpa melalui tahap penyaringan atau sumber lain sebagai bahan komparatif. Beberapa media belakangan ini, tengah merilis beberapa informasi yang justru menghadirkan para pembicara yang justru akan melawan rezim pada hal, Negara sementara berada pada situsi yang genting, seharusnya tokoh public yang di percaya untuk pembicara dalam program acara dialog mampu memberikan solusi atas persoalan bangsa atau mampu meminimalisir persoalan bangsa lewat langkah solutif atau langkan preventifnya.
Ironisnya para propagandis lebih banyak menyita perhatian publik ketimbang pemerintah dalam tulisan ini pada realitasnya, rakyat Indonesia di bodohi dengan praksis teori jarum hipordemic yang pertama kali di gagas oleh tokoh politik amerika yakni Harolld Laswel pada tahun 1920. Alasan fundamen teori jarum suntik sengaja di masukan dalam tulisan ini bahwa, Jarum Hipodermic atau lebih di kenal dengan jarum suntik ini, ternyata cukup inheren dengan gejolak politik nasional Indonesia di akhir tahun 2020. Teori ini mengasumsikan bahwa pesan akan disuntikan ke dalam tubuh khalayak lewat pembuluh darah untuk mencapai sikap kepasifan khalayak dalam menerima pesan sebagai kebenaran. Atau asumsi lain menjelaskan bahwa pesan diibratkan sebagai peluru yang nantinya ditembak ke kepala khalayak dengan satu tujuan yang sama yakni mencapai sikap pasif terhadap khalayak sebagai orientasi propaganda.
Berangkat dari persitiwa kelam yang berlangsung 30 oktober 1938 dimana Orson Welles merilis suatu berita yang menghebokan di amerika serikat ketika berita tesebut di terjunkan ke lapisan masyarakat dengan muat informasi bahwa dalam waktu dekat ada mahkluk aneh yang akan turun dari Mars ke bumi untuk memusnakan nyawa manusia. Berita tersebut justru menghantui publik di Amerika yang pada giliranya banyak masyarakat yang mengalami kecemasan tinggi ketikan berita sandiwara tersebut tengah merasuki sebagai masyarakat di kala itu. Konsekuensinya adalah khalayak tak mampu membendung strategi propaganda yang di mainkan oleh media masa dan pada gilirnya sebagian masyarakat tengah diporak-porandakan dengan mengkonsumsi berita sadiwara yang berhasil mencuat banyak korban psikologi hingga berderai air mata di kalangan masyarakat. Sesungguhnya peristiwa ini menjadi catatan kritis bahwa peradaban manusia di masa kini tak terlepas pisahkan dari pengaruh media yang sifanya membangun atau menjadi bencana bagi kehidupan ini. Baik dari aspek sosial, politik,ekonomi,budaya dan lain sebagainya. Oleh karena itu kalau isu sentral yang hari ini menjadi wacana publik bukan lagi soal politik ekonomi atau kepentingan sektoral semata namun ada hal lain yang melatarbelakangi sebut saja aktor intelektual yang sementara memainkan peran lewat media massa guna mencapai kepentingan kelompoknya dengan memanfaatkan media sebagai alat politik yang paling efektif dengan cara-cara propaganda untuk menghomogenkan persepsi masyarakat secara persuasif seperti yang dikatakan Bergner dalam merumuskan teori hubungan khalayak dan media massa. Bergner mengatakan bahwa perkembangan kehidupan manusia tak terlepas pisahkan dari kehadiran Televisi sebagai media masa yang paling popular yang notabenenya sebagai agen penghomogen cara berfikir masyarakat.
Konsepsi Bergner tentu sangat relevan dengan konteks Indonesia kekinian. Kalau mau dilihat sejak kondisi politik nasional akhir-akhir ini, bukan baru direncanakan namun hal tersebut tengah di rencanakan jauh-jauh hari dan sekarang adalah wujud dari perencanaan tersebut oleh para kelompok yang kemudian di kenal dengan kelompok yang berkehendak tinggi untuk memecah belah bangsa ini dari keutuhan yang ada. Aktor di balik persitwa ini banyak sekali yang memainkan peran sebagai propagandis yang baik lewat media dengan orientasi yang sama dengan para kolegnya untuk mencapai gumulan mereka dan selama mereka bekerja untuk merevolusikan ekesistensi bangsa ini dengan kehendak mereka sendiri bukan kehendak warga Negara. Maka sesungguhnya eksistensi pentingya informasi baik untuk masyarakat adalah bentuk dari kepedulian Negara dalam menjaga keselarasan berpikir dan menjaga keselerasan setiap entitas bangsa dalam menjaga keutuhan bangsa dengan satu ideologi untuk kemaslahatan rakyat Indonesia.
UKIM, 11 Desember 2020
_Marcho talubun_
Tags
Opini
🔥🔥❤️
ReplyDelete