Penulis: Giovani Walewawan, Ketua Bidang Organisasi GMKI Komisariat ISIP UKIM
Di suatu pagi, 9 Februari 1950, dua perahu kecil PMKI dan CSV bersandar di pelabuhan sejarah. Mereka telah lama mengarungi samudera kolonialisme, angin penindasan, dan gelombang pergolakan. Di bawah langit yang masih dipenuhi asap revolusi, kedua perahu itu memutuskan untuk melebur. Bukan sekadar menggabungkan papan dan tali, melainkan menyatukan jiwa: iman Kristen yang menghangatkan hati, dan semangat kebangsaan yang membara. Lahirlah sebuah kapal biru bernama GMKI, dengan nakhoda pertama, Dr. Johannes Leimena, yang berbisik lirih: “Kita berlayar di antara dua proklamasi: Kemerdekaan Indonesia dan Kabar Baik Kristus.”
Sebelumnya, di tahun 1941, di lereng Gunung Lawu, Karangpandan, sekelompok pemuda Amir Sjarifuddin, Leimena, dan lainnya telah berkumpul di bawah kerlip lampu minyak. Mereka berdebat tentang dikotomi agama dan politik. “Mengapa kita harus memilih?” tanya seorang pemuda. “Iman bukan tembok, tapi jembatan,” jawab Leimena. Di sanalah benih GMKI ditabur: sebuah mimpi tentang persekutuan yang merajut identitas ganda—umat Kristen dan anak bangsa.
Kapal biru itu pun berlayar. Mesinnya adalah Tri Dharma: Iman sebagai kompas yang menunjuk ke bintang pengharapan, Ilmu sebagai dayung yang membongkar reruntuhan pengetahuan kolonial, dan Pengabdian sebagai layar yang terkembang untuk mengangkat yang terlempar. Bagi mereka, GMKI bukan sekadar organisasi, tapi Gemeinschaft keluarga yang diikat cinta, bukan transaksi.
Tahun-tahun berlalu. Kapal itu menghadapi badai: rezim otoriter, arus neoliberalisme, dan pusaran krisis identitas. Tapi setiap kali ombak menghempas, para nakhoda GMKI selalu mengingatkan: “Jangan jadi zombie—hidup secara struktural, mati secara esensial!”
Kini, di usia 75 tahun, lautan yang diarungi semakin liar. Disrupsi digital bagai sirene yang memikat kawanan awak muda ke labirin metaverse. Krisis iklim seperti monster laut yang mengancam masa depan anak cucu. Di dek kapal, Ketua GMKI Jefri Gultom berteriak: “Neuron kita yang analog harus tetap bernyawa di dunia digital!”
Tapi kapal biru ini tak gentar. Di ruang mesin, para kader GMKI sedang merancang senjata baru: dialog inklusif sebagai antidot polarisasi, ekologi profetik sebagai tameng melawan kerakusan kapital, dan spiritualitas humanis yang menyatukan gereja, kampus, dan masyarakat. Mereka tahu, di era post-truth, Pancasila bukan mantra usang, melainkan peta yang harus terus diperbarui.
“Lihatlah ke horizon!” seru seorang kader. Di kejauhan, algoritma dan hoaks bergemuruh seperti badai. Tapi kapal ini punya kompas abadi: Ut Omnes Unum Sint Agar Semua Menjadi Satu. Di menara pengawas, suara Kierkegaard berbisik: “Lompatlah ke absurditas zaman, tapi peganglah iman!”
Kapal biru itu terus melaju. Catnya mengelupas diterpa hujan es neoliberalisme, mesinnya berderak menantang arus teknokrasi. Tapi layarnya masih teguh: Tinggi Iman, Tinggi Ilmu, Tinggi Pengabdian. Di geladak, para kader GMKI berjaga ada yang menulis puisi di Twitter, ada yang menanam mangrove, ada yang mendampingi korban ketidakadilan.
Mereka bagai flâneur yang berjalan di tepian zaman: kritis, tapi penuh syukur; membongkar tirani, tapi merajut harapan. “Inilah jalan yang lurus,” gumam mereka, sambil menatap bintang-bintang yang tak pernah padam.
Di ujung cakrawala, Indonesia menanti. Kapal biru itu tersenyum: “Kami datang dengan doa, nalar, dan tangan terbuka.”
DIRGAHAYU GMKI 75
Agar semua menjadi satu dalam kebenaran yang membebaskan.